Hasil Riset Nasional Lama Diterapkan

Regulasinya Semua Di BRIN

Anggota Komisi IV DPR Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Darori Wonodipuro. (Foto: Dok. DPR RI)
Anggota Komisi IV DPR Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Darori Wonodipuro. (Foto: Dok. DPR RI

RM.id  Rakyat Merdeka – Hasil riset bioteknologi belum sepenuhnya bisa diandalkan sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional dan peningkatan kesejahteraan petani. Sebabnya, regulasi kurang menunjang percepatan hasil karya riset anak bangsa untuk hadir di tengah-tengah masyarakat.

Anggota Komisi IV DPR Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Darori Wonodipuro mengatakan, persoalan riset bioteknologi menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi di Ke­menterian Pertanian (Kementan) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara untuk operasional dan pengaturannya diserahkan kepada Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Ge­netik (KKH PRG). Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati PRG.

“Tapi begitu ada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), semua riset dan inovasi ter­masuk penelitian bioteknologi atau rekayasa genetik, semua diserahkan ke sana. Jadi bukan di kita lagi (Kementan dan KLHK yang merupakan mitra kerja Komisi IV DPR),” kata Darori saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

Karena itu, dia mengaku tidak mengikuti lagi perkembangan-perkembangan riset bioteknologi terutama yang berkaitan dengan pertanian. “Memang dulu di Kementan dan KLHK, tapi seka­rang semua peneliti-penelitinya ditarik ke BRIN. Jadi tidak bisa komentar karena ini sudah kebi­jakan,” bilangnya.

Diakuinya, hambatan riset di bidang rekayasa genetik ini ada di regulasi. Sebab payung hukum untuk riset maupun penyaluran produk rekayasa ge­netik ini belum ada sama sekali undang-undangnya.

“Memang ini perlu waktu dan juga pembatasan. Cuma ini kan menyangkut rekayasa genetik. Saya kira undang-undangnya perlu dibuat tersendiri dan ini sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024),” katanya.

Darori menambahkan, pengaturan terkait produk bioteknologi dan rekayasa genetika ini nantinya digabung ke dalam pembahasan revisi UU Lingkungan Hidup yang sudah masuk dalam Prolegnas 2020-2024. “Rencananya digabung dengan lingkungan hidup, tapi bisa juga dipisah (tersendiri, red). Mungkin karena ini genetik ya,” jelasnya.

Dia berharap, RUU menyang­kut PRG ini dapat segera dibahas dan disahkan sebelum masa kerja DPR periode 2019-2024 berakhir. Apalagi kehadiran undang-undang ini sangat penting untuk memastikan keamanan produk hayati yang masuk di Indonesia.

“Jangan sampai barang-barang nggak jelas masuk ke Indonesia tanpa ada sertifikasi, penelitian, dan begitu juga barang-barang Indonesia yang keluar juga harus jelas. Sehingga (riset dan distri­busi produk) rekayasa genetik itu baik hewan maupun tumbu­han benar-benar sesuai aturan,” tambahnya.

Sebagaimana diketahui, Komisi Keamanan Hayati PRG ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati PRG. PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perseri­katan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati, dan Undang-Undang Nomor 23 Ta­hun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terpisah, Biotechnology and Seed Manager CropLife Indone­sia Agustine Christela Melviana menegaskan, tanaman dan benih yang dikembangkan dengan ilmu bioteknologi aman dikon­sumsi. Keamanan bioteknologi telah dikaji secara menyeluruh oleh berbagai lembaga riset dan kesehatan dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat (EPA).

“Kalau di Indonesia, kita punya Komisi Keamanan Hayati yang ditopang oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2005, baik untuk keamanan pangan, pakan maupun lingkungan,” kata dia.

Dijelaskan dia, Komisi Keamanan Hayati ini ditunjuk lang­sung oleh Presiden dan di dalam­nya memiliki tiga lembaga teknis yang akan mengkaji keamanan pangan, pakan, dan lingkungan. Lembaga inilah yang menentu­kan lama tidaknya sebuah hasil riset bioteknologi dilepas ke masyarakat.

Semua riset benih yang berbau bioteknologi, lanjutnya, harus memenuhi semua persyaratan dari KKH PRG, harus memiliki sertifikat keamanan pangan. Ini untuk memastikan benih tana­man tersebut aman dikonsumsi manusia. Begitu juga untuk ke­amanan pakan bagi hewan ternak.

“Dan kalau kita mau mena­nam itu, harus ada (sertifikat) keamanan lingkungan dan pelepasan varietas di Indonesia. Sekarang permasalahannya di mana, ya memang lama,” ungkapnya.https://katasungokong.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*