Kasus Pungli Di Rutan

Satroni Sukamiskin, KPK Periksa 10 Narapidana

Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri. (Foto: Antara Foto/Reno Esnir/aww)
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri. (Foto: Antara Foto/Reno Esnir/aww)

RM.id  Rakyat Merdeka – Mulai terkuak, sejumlah mantan tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi korban pungli petugas rutan. Mereka pun diperiksa sebagai saksi.

Kesepuluh mantan tahanan itu telah berstatus narapidana karena perkaranya sudah berkekuatan hu­kum tetap. Mereka telah dipindah­kan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, pemeriksaan terhadap saksi 10 narapidana dilakukan lapas khusus kasus korupsi yang terletak di Bandung itu.

Sepuluh narapidana itu adalah mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar; mantan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin; mantan Bupati Bintan Apri Sujadi; terpi­dana kasus korupsi penetapan izin ekspor benih lobster (benur), Ainul Faqih; mantan Ketua Tim Audit Interim Kabupaten Bogor Arko Mulawan; Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa (CMP) So Kok Seng alias Aseng.

Selanjutnya, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur periode 2017-2018 Budi Setiawan; man­tan Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya Persero Tbk, Dono Purwoko; mantan Sekretaris Dinas PUTR Pemprov Sulawesi Selatan, Edy Rahmat; dan mantan Kepala Bidang Pendidikan Khu­sus Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, Edy Wahyudi.

Dalam penyidikan kasus pungli di rutan, KPK telah menahan dan menetapkan 15 orang tersangka. Mereka adalah Ke­pala Rutan KPK Achmad Fauzi dan pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta bernama Hengki, orang yang mengkoor­dinir pungli.

Kemudian, enam pegawai negeri yang ditugaskan (PNYD) di rutan KPK yakni Deden Ro­chendi, Sopian Hadi, Ristanta, Ari Rahman Hakim, Agung Nugroho, dan Eri Angga Per­mana. Lalu, tujuh orang lainnya adalah petugas pengamanan ru­tan cabang KPK. Mereka yakni Muhammad Ridwan, Suharlan, Ramadhana Ubaidillah A, Mahdi Aris, Wardoyo, Muhammad Ab­duh, dan Ricky Rachmawanto.

Mereka terbukti melakukan pemerasan kepada para tahanan di tiga rutan cabang KPK terse­but. Dugaan pungli yang dilaku­kan terjadi sejak 2018.

Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelas­kan, kronologi perkara pungli di rutan bermula pada 2018 itu, saat tersangka Hengki (HK) ditunjuk menjadi petugas cabang rutan, bersama Deden Rochendi (DR) sebagai pelaksana tugas (Plt) Kepala Cabang Rutan KPK. Status kedua tersangka PNYD.

Tahun berikutnya, Deden mengadakan pertemuan dengan empat petugas cabang rutan KPK, yakni Hengki (HK), Mu­hammad Ridwan (MR), Rama­dhan Ubaidillah A (RUA), dan Ricky Rachmawanto (RR), di sebuah kafe di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Hasil rapat itu menunjuk satu di antaranya dari petugas cabang rutan sebagai ‘lurah’. Tugasnya, mengutip uang dari ‘korting’ di setiap rutan cabang KPK. Korting adalah tahanan yang tugasnya mengum­pulkan uang dari tahanan lain, untuk diserahkan pada lurah.

“Dalam rangka menunjuk dan memerintahkan MR (M. Ridwan) sebagai ‘lurah’ di Rutan Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur, MHA (Mahdi Aris) sebagai ‘lurah’ di Rutan Cabang KPK pada Gedung Merah Putih, dan SH (Suharlan) sebagai ‘lurah’ di Rutan Cabang KPK di Gedung ACLC,” bongkar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Ju­mat, 15 Maret 2024 malam.

Sambungnya, berlanjut sampai 2020, ada pergantian komposisi personel ‘lurah’ yakni Wardoyo (WD), Muhammad Abduh (MA), Ricky dan Ramadhan. Penunju­kan ‘korting’ merupakan inisiatif dari Hengki yang dilanjutkan Achmad Fauzi (AF), saat men­jabat Kepala Rutan Cabang KPK definitif tahun 2022.

Modus yang dilakukan Heng­ki dan tersangka lain di antara­nya memberi fasilitas eksklusif berupa percepatan masa isolasi, layanan penggunaan handphone dan powerbank, juga informasi inspeksi mendadak (sidak).

Soal isolasi bagi tahanan baru, para pelaku menawarkan percepatan masa isolasi. Hal ini kemudian alat tawar atau bargaining kepada para tah­anan baru. “Anda mau isolasinya cepat atau sesuai dengan standar gitu,” imbuhnya.

“Besaran uang untuk mendapatkan layanan-layanan tersebut bervariasi dan dipatok mulai dari Rp 300 ribu sampai Rp 20 juta. Kemudian disetorkan secara tunai maupun melalui rekening bank penampung dan dikendalikan oleh ‘lurah’ dan ‘korting’,” ungkap Asep.

Ia menambahkan, bagi tahanan yang tidak setor uang atau terlambat, maka bakal menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari para petugas rutan. Di an­taranya kamar tahanan dikunci dari luar, pelarangan dan pengurangan jatah olahraga, termasuk mendapat tugas jatah jaga dan piket kebersi­han yang lebih banyak.

Mengenai pembagian jatah uang untuk para tersangka jumlahnya bervariasi. Nilai uang yang diterima sesuai posisi dan tugasnya yang dibagikan per bulan, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 10 juta.

“AF dan RT masing-masing mendapatkan sekitar Rp 10 juta. HK, EAP, DR, SH, ARH, AN masing-masing mendapat sekitar Rp 3 juta sampai Rp 10 juta,” ucapnya.

Dan selama rentang waktu 2019 hingga 2023, besaran jumlah uang yang diterima para tersangka mencapai Rp 6,3 miliar. Namun begitu, KPK masih terus melaku­kan penelusuran dan pendalaman kembali untuk aliran uang mau­pun penggunaannya.https://katasungokong.com/wp-admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*