Thailand resmi legalkan pernikahan sesama jenis – Apa dampaknya ke komunitas LGBT di Indonesia?

Perayaaan RUU pernikahan sesama jenis di Thailand
Keterangan gambar,Komunitas LGBTQ+ di Thailand merayakan pengumuman disahkannya RUU kesetaraan pernikahan oleh Senat pada Selasa (18/6)

Thailand selama ini dianggap sebagai tujuan wisata di Asia Tenggara yang ramah bagi mereka dengan identitas gender dan orientasi seksual yang beragam – termasuk dari Indonesia. Dengan disahkannya pernikahan sesama jenis di Thailand, apakah orang-orang LGBTQ+ di Indonesia terdorong untuk pindah ke negara itu demi mendapat ruang yang nyaman?

“‘Ya, sudah, kita nikah saja, yuk?’” kata Langit (bukan nama sebenarnya) menirukan candaan teman kencannya yang orang Thailand menyusul diloloskannya rancangan undang-undang (RUU) kesetaraan pernikahan oleh Senat Thailand.

Di bawah UU ini, orang-orang dengan identitas gender dan orientasi seksual yang beragam dapat menikah – termasuk pasangan homoseksual.

“[Cuma bercanda] tetapi dengan [dia] bilang begitu aku kepikiran mungkin dengan dilegalkan aku jadi punya jalan yang lebih mudah untuk dapat permanent residence [izin tinggal permanen].”

Langit, 26 tahun, sudah menetap di Bangkok selama 1,5 tahun terakhir. Laki-laki gay asal Bandung, Jawa Barat, itu bekerja di sebuah perusahaan bidang media sosial di Thailand.

Sebagai bagian dari komunitas LGBTQ+, Langit mengaku sudah mengalami perundungan terkait identitas seksualnya sejak masih remaja yang masih membekas di pikirannya sampai sekarang.

Teman kencannya tahu akan hal itu.

Langit mendengar kabar RUU kesetaraan pernikahan diloloskan saat tengah bersantai di sebuah kafe di Nonthaburi – kota di luar Bangkok pada Selasa (18/6).

“Aku senang… tapi enggak terlalu kaget karena sudah mendengar desas-desusnya sejak lama,” ujarnya kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Rabu (19/6).

Di Thailand, Langit mengaku merasa lebih terlindungi, bahkan sebelum Senat melolos RUU kesetaraan pernikahan. Dia mengaku bisa lebih mengekspresikan diri di negara itu dan dapat dengan lugas menyebut identitasnya ke orang asing sekalipun.

“Kalau boleh jujur, perbandingan 180 derajat. Sebagai gay jauh lebih tenang, tenteram, nyaman, dan aman dibanding Indonesia,” ujar Langit yang juga sempat mengikuti parade LGBT Pride di Bangkok.

Gagasan untuk pindah secara permanen ke Thailand dengan diloloskannya RUU kesetaraan pernikahan ini memang ada di benaknya, tetapi Langit mengaku lebih memikirkan nasib teman-temannya di Indonesia.

“Aku merasa bersyukur [karena privilese tinggal di Thailand], tapi di satu sisi juga merasa bersalah. Sampai sekarang kalau ada lowongan kerja di kantorku, aku langsung membagikannya ke teman-teman LGBTQ+. Kalau bisa sih semua teman-teman queer di Indonesia pindah ke Thailand,” ujar Langit.

Salah satu teman Langit yang sedang berupaya untuk pindah ke Thailand adalah Krisan (juga bukan nama sebenarnya), 27 tahun. Dia adalah perempuan lesbian asal Bandung, Jawa Barat.

Krisan mengaku berasal dari keluarga Muslim yang konservatif. Sejak 2021, dia sudah memutuskan hubungan dengan keluarganya yang hingga kini masih berusaha mencarinya untuk ikut terapi konversi.

“[Keluarga] sampai-sampai mencari aku ke tempat mantan [pacar] aku dan bawa-bawa tukang pukul,” tutur Krisan dengan suara pelan.

Langit sangat mendukung perjuangan Krisan supaya bisa pindah.

“Aku tahu latar belakang. Aku berusaha biar dia bisa pindah ke sini,” ujarnya.

Thailand jadi tujuan bagi LGBT asal Indonesia?

pasangan LGBTQ+ di Thailand merayakan pengesahan RUU kesetaraan pernikahan dengan berparade menaiki tuk-tuk (moda transportasi tradisional setempat)
Keterangan gambar,Bagi komunitas LGBTQ+ Thailand, disahkannya RUU kesetaraan pernikahan adalah sebuah “kemenangan”

Direktur Eksekutif Koalisi Pasifik Asia untuk Kesehatan Seksual Pria (APCOM), Midnight Poonkasetwattana, yang berbasis di Bangkok, mengatakan komunitas LGBTQ+ di Thailand sudah menanti pengesahan RUU kesetaraan pernikahan selama satu dekade.

“Rasanya luar biasa menyaksikan pemungutan suara Senat kemarin mayoritas mendukung pernikahan LGBTQI – apalagi ini terjadi pada bulan Pride. Saya harap negara-negara lain juga mengambil langkah berani untuk menjamin setiap orang dapat memperoleh akses yang sama, termasuk LGBTQI,” ujar Midnight dalam surat elektronik yang dikirim kepada BBC News Indonesia.

Midnight pun mengakui bahwa dari segi ekonomi, Thailand banyak diuntungkan karena dipandang sebagai negara yang menerima orang-orang LGBTQ+, bahkan sebelum RUU kesetaraan pernikahan disahkan.

Dengan adanya UU kesetaraan pernikahan ini, Midnight mengatakan akan ada peningkatan tajam wisatawan LGBTQI dari Indonesia, serta negara-negara lain di kawasan ini, yang datang ke Thailand “untuk mengeksplorasi kemungkinan hidup autentik sesuai jati diri mereka tanpa harus bersembunyi, malu, atau takut akan hukuman, dibandingkan dengan negara asal mereka.”

Bella Aubree, Koordinator Nasional Inti Muda Indonesia dan pegiat isu-isu sosial, menyebut Thailand sering dianggap sebagai destinasi yang ideal dan ramah bagi teman-teman LGBTQ+, termasuk untuk orang-orang transgender yang ingin melakukan terapi penggantian hormon ataupun tindakan bedah untuk mengubah alat kelamin.

“Saya sering berbincang dengan kawan LGBTQ+ yang ingin menikah. Mereka berangan-angan untuk dapat pindah, tinggal, dan menikah di Belanda. Saya rasa Thailand akan menjadi negara tujuan menggantikan Belanda karena Thailand juga cukup dekat dari Indonesia,” ujar Bella.

“Jika situasi di Indonesia sudah benar-benar tidak aman bagi teman-teman LGBTQ+, kemungkinan LGBTQ+ yang mampu dapat berpindah ke sana.”

Warga Banda Aceh dihukum cambuk karena melakukan seks sejenis pada 23 Mei 2017
Keterangan gambar,Di Indonesia, komunitas LGBTQ+ masih mendapat persekusi. Di Aceh, hukuman cambuk sebanyak 85 kali menanti mereka yang ketahuan berhubungan seks sesama jenis.

Walaupun begitu, Bella mengingatkan bahwa tidak semua orang-orang LGBTQ+ di Indonesia mampu ataupun berdaya untuk berpindah ke negara lain.

“Bagaimana dengan mereka yang masih harus berjuang untuk mencari makan? Kita tetap harus bersama-sama memperjuangkan hak-hak LGBTQ+ karena sejatinya hak yang kita tuntut adalah hak sebagai manusia dan hak sebagai warga negara. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk memenuhi hak tersebut,” ujar Bella.

Orang-orang LGBTQ+ Indonesia yang saat ini tinggal di Thailand pun tidak semua berpikir untuk pindah secara permanen.

Reno (bukan nama sebenarnya), pria gay 28 tahun asal Sumatera Barat yang sudah tinggal dan bekerja di Bangkok hampir dua tahun belakangan, mengaku masih memikirkan keluarganya.

“Walaupun orang tua dan keluarga besarku tidak menerimaku [sebagai gay], tapi aku masih merasa punya tanggung jawab terhadap mereka,” ujarnya.

Potensi diskriminasi baru

Protes anti-LGBT di Indonesia
Keterangan gambar,Di Indonesia, komunitas LGBTQ+ masih mendapat protes atas keberadaan mereka

Pemberitaan diloloskannya RUU kesetaraan pernikahan oleh Senat Thailand mendapat reaksi dari warganet Indonesia.

Berdasarkan penelusuran BBC News Indonesia, komentar-komentar negatif bermunculan di media sosial dan kolom komentar di berbagai laman berita seperti Kompas.com.

“Negara rusak yang akan hancur dengan sendirinya,” tulis seorang warganet.

“Paling nanti datang tsunami sama gempa bumi dahsyat,” tulis satu orang lainnya.

Dede Oetomo, sosiolog Universitas Airlangga yang juga pencetus GAYa Nusantara – organisasi pegiat hak LGBT pertama di Indonesia – menyebut komentar-komentar negatif sudah bisa diantisipasi.

“Komentar sebagian warganet Indonesia yang jahat-jahat dan menunjukkan ke-bigot-annya [kefanatikan] diikuti argumentasi agama yang sudah usang banget seperti ‘Thailand akan kena azab bencana alam’ atau dikaitkan dengan menyebarnya HIV,” ujar Dede.

“Sebagai pendidik saya sedih, tapi, ya, begitulah kualitas sebagian pendidikan kita.”

Menurut Dede, masalah yang paling mendesak bagi komunitas LGBTQ+ Indonesia saat ini masih merujuk kepada hal-hal yang mendasar seperti masih adanya diskriminasi di bidang pendidikan dan pekerjaan.

Koordinator Nasional Inti Muda Indonesia, Bella Aubree, mencemaskan pengesahan RUU kesetaraan pernikahan justru akan membuat para pembuat kebijakan di Indonesia menanggapinya dengan membuat rancangan peraturan yang diskriminatif sebagai bentuk pencegahan agar hal itu tidak terjadi di Indonesia.

“Hal ini mungkin saja terjadi mengingat beberapa tahun kebelakang cukup banyak rancangan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap LGBTQ+,” ujarnya.

Berdasarkan data Arus Pelangi, ada sekitar 45 regulasi anti-LGBTQ+ di Indonesia mulai tahun 2006 sampai 2018. Jumlah regulasi ini cenderung meningkat menjelang Pilkada dan Pemilu seperti terlihat di tahun 2016, 2018 dan 2023.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch Indonesia menyoroti RUU Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2022 yang mengkriminalkan orang-orang LGBTQ+.

“Semua peraturan ini perlu ditinggalkan dan tentu perlu dicabut,” tutur Andreas.

Akan tetapi, Hidayat Nur Wahid, anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi isu agama dan sosial dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam keterangan resminya menyebut “perkawinan sejenis” di Thailand justru harus diwaspadai.

“Seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, baik pemerintah, DPR, ormas-ormas keagamaan dan masyarakat luas, harus waspada agar penyimpangan laku seksual dengan pernikahan sejenis semacam ini tidak dijadikan dalih untuk diperbolehkannya nikah sejenis di Indonesia, yang menjadi pintu penyebaran penyimpangan LGBT secara lebih luas lagi,” ujar Hidayat yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

“Meski Thailand memiliki kedaulatannya sendiri, Raja Thailand perlu mempertimbangkan RUU itu dengan bijaksana. Karena apabila itu disahkan, maka itu dapat berdampak buruk dan mencoreng kawasan Asia Tenggara atau ASEAN,” tuturnya lagi.

Hidayat menyebut salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan segera menyiapkan dan membahas RUU Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual untuk masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024

“Ini yang harus kita siapkan di DPR bersama dengan Pemerintah. Apabila tidak bisa pada DPR periode ini, ini bisa diteruskan untuk diperjuangkan hingga sah di DPR berikutnya,” jelasnya.

Kepada BBC News Indonesia, Hidayat mengatakan aturan-aturan anti-LGBT bukanlah sesuatu yang diskriminatif. Menurutnya, tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan konstitusi apabila dibiarkan malah bisa disebut sebagai “diskriminasi”.

“Karena perilaku lain yang tak sesuai dengan Konstitusi dan Undang-Undang seperti judi online larangannya juga diatur dalam peraturan perundangan,” ujarnya.

Bella Aubree dari Inti Muda menyebut para pegiat saat ini sedang bersama-sama melakukan advokasi, mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan UU Anti Diskriminasi yang dapat menjadi peluang bagi kelompok rentan termasuk teman-teman LGBTQ+ untuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi yang terjadi.

“Harapannya melalui UU Anti Diskriminasi ini dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan aman bagi kelompok rentan termasuk LGBTQ+,” ujarnya.

Kembali ke Thailand, RUU kesetaraan pernikahan membutuhkan persetujuan Raja Maha Vajiralongkorn dan berlaku 120 hari setelah dipublikasikan surat kabar resmi kerajaan – artinya pernikahan sesama jenis pertama yang resmi di Thailand bisa jadi dilakukan tahun.

Meski begitu, Langit mengingatkan hal ini bukan berarti komunitas LGBTQ+ di Thailand 100% terbebas dari diskriminasi.

“Jangan terlalu terlena sampai ngelupain kalau sebetulnya masih ada orang-orang queer di Thailand yang terdiskriminasi,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Koalisi Pasifik Asia untuk Kesehatan Seksual Pria (APCOM), Midnight Poonkasetwattana mengakui hal ini.

“Banyak orang tidak tahu bahwa kami tidak memiliki undang-undang anti-diskriminasi. Komunitas transgender kami gendernya pun tidak diakui dalam dokumen legal,” ujarnya.

Meski begitu, secara keseluruhan Langit tetap merasa lebih aman berada di Thailand.

“Kantor aku sangat ramah terhadap queer, tapi orang-orang Indonesianya [yang bekerja di sini] enggak, aku masih dengar gunjingan homofobik dari mereka,” ujar Langit.

“Tapi aku sudah tidak peduli. Kalau misalnya hal ini bereskalasi juga tinggal dilaporkan. Karena sekarang aku di Thailand, aku lebih terlindungi.”

https://kawikajoeslimousinehawaii.com/wp-content/site/keris4d/
https://epicdigitalvault.com/
https://houarapress.com/
https://duocphamhungloi.com.vn/wp-content/site/thikongkia/
https://white-wolf-427444.hostingersite.com/wp-content/site/thikongkia/
https://dishub.sitarokab.go.id/thikongkia/
https://doveruniversity.com/thikongkia/
https://gaiartist.com/wp-content/site/thikongkia/
https://103.176.79.210/
https://103.217.144.239/
https://103.76.120.192/
https://103.179.57.192/
https://188.116.22.62/
https://37.1.219.176/
https://terushuat.site/
https://shippingstore.site/
https://www.bajubagushuat.shop/
https://lasthuat.site/
https://megalux138pasti.art/
https://kadal.fun/
https://kadal.space/
https://huat-138.xyz/
https://heylink.me/huat138/
https://amphuat.site/
https://huat138bisa.store/
https://kakekdisko.boats/
https://nagamerah.sbs/
https://nagaemas.skin/
https://lebarkan.cyou/
https://huatkoi.shop/
https://epal-shop.com/
https://boglechandler.com/
https://103.54.170.14/
https://qilindo.com/
https://seowords.org/
https://ligueprofoot.com/
https://journalhcnouest.com/
https://gibson-girls.com/
https://103.117.56.197/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*